Minggu, 18 Desember 2011

PROSES VERSUS PRODUK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA


PROSES VERSUS PRODUK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Solichan Abdullah *)
Pendahuluan
Salah satu masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dalam bidang pendidikan saat ini adalah masih rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang sekolah. Di sisi lain, penyelenggaraan sekolah dituntut harus dilakukan secara bertanggungjawab dan harus berperan aktif dalam merealisasikan kebijakan pendidikan nasional. Agar lulusan pendidikan nasional memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sesuai standar mutu nasional dan juga internasional, maka seluruh program/kegiatan peningkatan mutu pendidikan perlu dikembangkan dengan pendekatan berbasis kompetensi. Hal ini harus dilaksanakan agar sistem pendidikan nasional dapat merespon secara proaktif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, serta tuntutan desentralisasi.
Kualitas proses dan produk pendidikan kita sekarang ini dianggap masih jauh dari memadai, lebih-lebih kalau dikaitkan dengan upaya mempersiapkan manusia Indonensia di abad global. Banyak hasil penelitian akhir-akhir yang menunjukkan hal tersebut yang tidak perlu dikupas lagi karena kita terlalu sering mendengarkannya.. Hasil yang kurang memuaskan ini mungkin sebagian terjadi karena kekurangpahaman kita menyelenggarakan proses pembelajaran yang memenuhi persyaratan, sebagian lagi mungkin karena kekeliruan cara pandang kita terhadap proses pendidikan. Pada saat ini proses pendidikan sebagian besar dilakukan melalui penyampaian informasi, bukan pemrosesan informasi yang mengacu ke arah pemecahan masalah. Di sekolah, guru masih tetap merupakan sumber informasi yang paling dominan, padahal sumber informasi lain demikian melimpah yang menuntut untuk dimanfaatkan. Proses pendidikan sebagian besar masih berpusat pada kegiatan mendengarkan dan menghafalkan, bukan memberikan interpretrasi dan makna terhadap apa yang dipelajari dalam upaya untuk membangun pengetahuan sendiri.
Dalam mengimplementasikan kemampuan dan keterampilannya di kelas, seringkali guru dihadapkan pada dua masalah yang klasik, yaitu mengajar yang berorientasi pada hasil belajar, lebih khusus lagi prestasi belajar (produk) peserta didik dan mengajar yang menekankan pada proses pembelajaran. Mengajar yang berorientasi pada produk dalam pratik akhirnya mengarah pada pendekatan pembelajaran berpusat pada kegiatan mengajar guru (teacher centered) karena guru merasa dikejar oleh target penyelesaian kurikulum, walaupun kesulitan siswa dalam menerapkan konsep matematika tidak hanya disebabkan dari diri siswa tetapi juga dari luar siswa. Di lain pihak mengajar yang menekankan pada proses umumnya mengutamakan pembelajaran yang cenderung pada kegiatan pembelajaran siswa (student centered).
1
Berkenaan dengan kelulusan peserta didik yang antara lain ditentukan nilai hasil Ujian Nasional (UN), ada yang setuju dan ada pula yang kurang setuju, walaupun akhirnya semua satuan pendidikan harus mengikuti UN. Untuk mengantisipasi hal itu mereka harus membuat persiapan semaksimal mungkin dan berusaha dengan serius karena tidak mau disalahkan apabila peserta didiknya ada yang tidak lulus. Langsung atau tidak langsung kebijakan tersebut membawa dampak pada masalah proses pembelajaran di kelas. Ada guru yang memfokuskan pada kegiatan pembelajaran yang mengutamakan pada hasil belajar (produk), dilain pihak ada guru yang menekankan pada proses dalam pembelajaran untuk memberi pengalaman nyata pada peserta didik dalam belajar..
Mengapa Produk?
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian guru masih menggunakan paradigma lama dalam mengajar. Dalam pembelajaran matematika, guru memulai sajian dengan mengajar teori/definisi/ teorema, diberikan contoh, dan terakhir diberikan latihan soal-soal. Pendekatan pembelajaran seperti ini disebut ’mekanistik., tidak ada ‘matematisasi horisontal’ maupun ‘matematisasi vertikal’ (Suryanto, 2001) dan struktur pembelajaran seperti ini hampir selalu dilakukan setiap pertemuan. Pada waktu membahas teori peserta didik cukup memahaminya melalui penjelasan guru walaupun kadang-kadang tidak memahami apa yang mereka kerjakan sedangkan teorema tidak perlu dibuktikan karena sebagian peserta didik merasa tidak tertarik karena cukup rumit dan menghabiskan banyak waktu. Dalam kenyataannya, bukti tidak pernah ditanyakan dalam ujian apapun sehingga waktu yang digunakan untuk membahas bukti dapat dimanfaatkan untuk membahas latihan soal, terutama yang sering muncul dalam ujian. Masalah penalaran, diharapkan dalam masa pertumbuhan peserta didik akan muncul dengan sendirinya. Dalam skenario pembelajaran ini memang guru agak mendominasi kegiatan pembelajaran karena mengajar adalah menyampaikan pengetahuan dan belajar adalah memahami apa yang disampaikan oleh guru sehingga peserta didik harus melaksanakan perintah guru berlatih mengerjakan soal. Agar waktu yang tersedia dapat digunakan sebaik-baiknya maka guru harus mengatur dan menentukan bahan pelajaran, sedangkan peserta didik tidak turut serta merancang, menentukan langkah-langkah, dan menilai hasil belajar sehingga peserta didik terfokus pada tugasnya yaitu belajar.
Memang, pada pembelajaran seperti di atas peserta didik belajar secara prosedural dan algoritmik, dan cara-cara inilah yang diangggap oleh sebagian guru paling praktis, efektif dan menurut pengalaman mereka selama ini cukup berhasil dalam menyiapkan peserta didik untuk menghadapi ujian. Terbukti, sebagian peserta didik maupun orang tuanya selalu menginginkan untuk mengikuti les privat yang metodenya hanya membahas cara-cara penyelesaian soal atau
2
mengutamakan latihan dan menghafal fakta-fakta yang diharapkan akan keluar pada ujian. Peserta didik memburu tempat belajar yang dapat memberikan kepuasan dalam mengerjakan soal yaitu mencari trik-trik pengerjaan soal, mencari ‘jalan tol’ sehingga dalam ujian mampu bersaing dengan temannya. Guru mempertahankan cara-cara ini yang digunakan dalam pembelajaran karena alasan ’terpaksa karena ujian’, jadi teaching for the test. Dengan strategi tersebut guru dapat mengontrol kelas, mengarahkan kegiatan pembelajaran sehingga target materi yang ditetapkan kurikulum dapat dicapai. Sebagian guru lebih suka menggunakan cara-cara seperti itu, sebab dalam kenyataannya soal-soal yang ditanyakan dalam UN hanya menguji ranah kognitif peserta didik dan instrumennya adalah tes tertulis bentuk pilihan ganda. Begitu pula dengan peserta didik yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka cukup mempersiapkan diri dengan mengikuti les baik yang diadakan oleh sekolah maupun lewat lembaga bimbingan belajar atau les privat. Tujuannya adalah mereka dapat lulus dan mendapat nilai baik dan dalam kenyataannya banyak peserta didik yang berhasil dengan cara seperti ini. Dengan cara-cara seperti itu ternyata dapat mencetak banyak pemimpin bangsa termasuk ahli pendidikan saat ini.
Prestise dan prestasi sekolah dipertaruhkan pada waktu peserta didik mengikuti ujian karena nilai ujian sangat mempengaruhi ’nasib’ peserta didik maupun sekolah di masa depan.. Sistem penilaian seperti inilah yang memprihatinkan pihak sekolah dalam hal ini guru, sehingga guru perlu membuat langkah-langkah strategis untuk menyikapinya. Salah satu ciri manusia adalah melakukan sesuatu yang tidak merepotkan dirinya serta menginginkan sesuatu yang aman bagi dirinya. Strategi apapun yang ditawarkan oleh para inovator pembelajaran yang mengajak untuk memperhatikan proses pembelajaran dianggap membuang-buang waktu sehingga tidak akan mengubah persepsi guru dalam mengajar selama ini. Pembelajaran dikatakan efektif apabila nilai ulangan/ujian peserta didik memuaskan sehingga mereka lulus ujian karena memenuhi passing grade yang ditetapkan walaupun dengan metode yang didominasi oleh ceramah. Masyarakat awam seolah tidak mau tahu pada masalah proses pembelajaran dan mereka hanya mengharapkan nilai ujian anaknya baik, lulus, dan dapat masuk sekolah favoritnya. Dengan demikian seolah terjadi ‘kolusi’ antara peserta didik, orang tua, dan guru.
Mengapa Proses?
Misalkan kita berada di terminal bus setelah pulang dari luar kota, kemudian kita akan pulang ke rumah. Ada bermacam-macam cara kita untuk pulang antara lain dengan naik taksi, naik becak, atau naik kendaraan lain. Jika dibandingkan dengan naik taksi maka naik becak akan membutuhkan waktu yang lebih lama, tetapi pengalaman orang yang naik becak kemungkinan akan lebih banyak dari yang naik taksi, antara lain dapat menikmati perjalanan dengan santai, menikmati pemandangan alam atau memandang gedung-gedung dengan jelas dan lebih lama,
3
dapat bertemu dan bertegur sapa dengan teman atau orang lain dengan mudah karena jalannya becak pelan.
Uraian di atas adalah salah satu gambaran dalam pembelajaran yang menekankan proses daripada produk. Walaupun time is consuming atau akan menyita banyak waktu tetapi peserta didik diharapkan mendapat banyak pengalaman dalam belajar. Menurut Kolb (1984), salah satu karakteristik belajar melalui pengalaman adalah belajar lebih dipersepsikan sebagai proses, bukan sebagai hasil. Peserta didik adalah sosok makhluk hidup yang mempunyai potensi diri yang dapat dikembangkan, sehingga harus diberdayakan bukan diperdaya. Suatu proses pembelajaran yang efektif dan bermakna ( Ausubel dalam Hudoyo, 1988:112) akan berlangsung apabila memberikan keberhasilan dan kepuasan baik bagi guru maupun peserta didiknya. Dalam rangka menuju ke pembelajaran bermakna itu maka telah dikembangkan strategi, pendekatan, metode pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik , antara lain dikenal dengan istilah cara belajar siswa aktif (CBSA), pembelajaran aktif inovatif kreatif dan menyenangkan (PAIKEM), Contextual Teaching and Learning (CTL) atau pembelajaran kontekstual, dalam pendidikan matematika dikenal Realistic Mathematics Education (RME) atau Pendidikan Matematika Realitik Indonesia(PMRI).
Menurut Nasution (1986: 11) pengetahuan adalah salah satu aspek dari tujuan pendidikan, sedangkan yang dituju adalah pembentukan seluruh pribadi peserta didik. Pengetahuan bukanlah tujuan pendidikan, melainkan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Cara mengajar dengan menyuruh peserta didik menghafal ini mengabaikan minat peserta didik, hubungan dengan kehidupannya, serta menimbulkan bahaya verbalisme. Menurut ahli pendidikan klasik John Dewey, peserta didik akan belajar dengan baik apabila apa yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika peserta didik terlibat aktif dalam proses pembelajaran di sekolah. Berakar pada filsafat pragmatisme yang menekankan pada pengembangan minat dan pengalaman peserta didik yang digagas oleh John Dewey pada awal abad ke-20 yang lalu, muncullah paham konstruktivisme yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal. Peserta didik harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. Konstruktivisme merupakan salah satu komponen pendekatan CTL, sedangkan komponen lainnya adalah ada unsur bertanya, pengetahuan dan pengalaman diperoleh dari kegiatan menemukan, terbentuk masyarakat belajar, ada model yang ditiru (pemodelan), dan dilakukan penilaian sebenarnya (Nurhadi, dkk.,2003: 119). Dalam matematika ada pendekatan PMRI yang mirip dengan CTL. Karakteristik dari PMRI adalah (1) menggunakan masalah kontekstual, (2)menggunakan model, (3)menggunakan kontribusi siswa,
4
(4)interaktivitas, dan (5)terintegrasi dengan topik lain (Yuwono, 2001). Pendidikan matematika realistik berpotensi meningkatkan pemahaman matematika dan kemampuan memecahkan masalah serta melibatkan berpikir tingkat tinggi (Resnick dalam Nurhadi dkk, 2003), antara lain nonalgoritmik yaitu alur tindakan yang tidak sepenuhnya dapat ditetapkan sebelumnya.
Kemampuan berpikir logis, kritis sangat didambakan di zaman informasi dewasa ini. Kemampuan itu harus diwujudkan dalam pembelajaran matematika khususnya maupun pembelajaran mata pelajaran lainnya.. Berpikir kritis dan kreatif memungkinkan peserta didik mengkaji masalah-masalah secara sistematis, ditantang untuk mencari cara-cara yang terorganisasi dengan baik dalam memecahkan suatu masalah, dapat merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang inovatif, dan dapat merancang pemecahan masalah secara tepat. Berpikir kritis membantu peserta didik memahami bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri, bagaimana mereka melihat dunia yang seluas ini, dan bagaimana mereka berhubungan dengan oranglain. Berpikir kritis membantu peserta didik menguji sikap mereka sendiri dan menghargai nilai-nilai yang harus mereka pelajari. Siswa perlu dilatih agar mampu membedakan mana yang disebut berpikir baik dan tidak baik, mana yang benar dan mana yang salah.
Kemampuan tersebut di atas tidak dapat diterapkan hanya dengan metode ceramah, maupun melalui langkah-langkah terstruktur yang ada atau secara prosedural. Alternatif pembelajarannya adalah pemecahan masalah dan kekuatan-kekuatan proses pemecahan masalah terletak di dalam kemampuan siswa mengambil bagian secara aktif, dengan syarat masalah yang disajikan itu adalah harus bermakna. Strategi pembelajaran yang dipilih harus memberikan rangsangan dan dorongan bagi peserta didik untuk berbuat secara aktif. Penilaian pembelajarannya disarankan agar menggunakan penilaian alternatif antara lain penilaian kinerja, portofolio, proyek(tugas), produk (hasil karya), atau jurnal, di samping penilaian tertulis.
Proses Dan Produk
Dua aliran psikologi yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dewasa ini adalah aliran behavioristik dan kognitif (konstruktivistik). Aliran behavioristik menekankan pada terbentuknya perilaku yang nampak sebagai hasil belajar, sedangkan aliran konstruktivistik lebih menekankan pada pembentukan perilaku internal yang sangat mempengaruhi perilaku yang nampak tersebut. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagi individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan metode drill (pembiasaan) semata dan teori ini hingga sekarang merajai praktek pembelajaran. Aliran konstruktivistik berupaya mendiskripsikan apa yang terjadi dalam diri seseorang ketika ia belajar. Teori ini lebih menaruh perhatian pada peristiwa-peristiwa internal. Belajar lebih banyak
5
ditentukan karena adanya karsa individu. Keaktifian peserta didik menjadi unsur yang sangat penting dalam menentukan kesuksesan belajar. Teori ini diakui memiliki kekuatan yang dapat melengkapi kelemahan dari teori behavioristik bila diterapkan dalam pembelajaran.
Penyimpangan rancangan dan pelaksanaan program pembelajaran yang antara lain muncul dalam bentuk pengebirian pesan menjadi pemberian informasi semata sehingga guru hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, perlu diubah sebagai mediator antara informasi dan peserta didik, fasilitator yang memberi kemudahan kepada peserta didik untuk belajar. Dengan demikian maka masalah proses pembelajaran yang mengacu kepada pembelajaran bermakna perlu diperhatikan. Namun, apabila hanya menekankan proses tanpa memperhatikan produk ibaratnya seperti bermain sepakbola yang hanya menekankan seni menggiring bola daripada seni mencetak gol. Dalam kenyataannya kedua kutub tersebut menghasilkan kekuatan tarik menarik yang dinamis yang menjanjikan peluang untuk kemajuan.
Kita sering dihadapkan untuk memilih antara memahami secara mendalam konsep yang dibicarakan tetapi hanya sedikit konsep yang dibahas dibandingkan dengan konsep tidak perlu dipahami mendalam tetapi banyak konsep yang dibahas. Dengan kata lain, peserta didik tuntas dalam mencapai kompetensi tertentu tetapi sedikit kompetensi yang dicapai, dengan banyak kompetensi yang dicapai tetapi kurang ketuntasannya dalam mencapai kompetensi tersebut. Idealnya kita tidak akan memilih salah satu dari dua pilihan tersebut. Yang diharapkan adalah baik proses maupun produk harus berjalan beriringan, dengan pertimbangan bahwa apabila prosesnya bagus maka diharapkan produknya juga bagus, artinya proses pembelajaran yang baik akan berdampak pada produk yang baik pula. Jadi, antara waktu dan isi selalu menjadi titik permasalahan, yaitu untuk menekankan isi atau proses perlu waktu cukup, sebaliknya waktu yang dibutuhkan sedikit tetapi isi atau proses kurang mendalam.
Untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan masalah waktu yang dibutuhkan untuk membuat pembelajaran bermakna, maka salah satu cara diantaranya adalah pada waktu guru menganalisis kurikulum guru perlu membuat pemetaan konsep/kompetensi yang dapat memberi kesempatan menggabung beberapa kompetensi atau indikator dalam sebuah kegiatan pembelajaran. Apabila sebelumnya kita memperhatikan masalah sekuensi, misalnya membahas masalah operasi penjumlahan baru dibahas operasi pengurangan, maka kita dapat membahas keduanya dalam satu kesempatan. Jadi guru perlu merevisi apa yang telah dilakukannya selama ini yaitu selalu mengurutkan topik atau bahasan satu persatu dalam kegiatan pembelajaran Sebagai contoh, peserta didik diberi permasalahan seperti berikut.
Adik memiliki 3 butir kelereng. Diberi ayah 6 butir kelereng. Dua kelereng diberikan kepada temannya. Berapa banyak kelereng adik sekarang? 6
Permasalahan ini diberikan pada kelompok peserta didik untuk didiskusikan, dan diharapkan dengan ’matematisasi horisontal’ peserta didik dapat memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka masing-masing karena yang didiskusikan adalah masalah dalam kehidupan nyata. Dalam hal ini peserta didik mempelajari matematika informal(Yuwono, 2001), karena peserta didik bekerja dengan intuisi, mencoba-coba, membuat model matematika yaitu mengubah bahasa sehari-hari menjadi bahasa matematika. Dengan bimbingan guru, secara individual atau secara kelompok, menggunakan ’matematisasi vertikal’ diharapkan mereka memahami sekaligus dua operasi yaitu penjumlahan dan pengurangan. Pada tahap terakhir ini, guru membimbing peserta didik untuk meningkatkan taraf materi matematika yang tadinya informal menjadi formal.
Dalam rangka menghadapi UN diperlukan waktu khusus dan ekstra untuk melatih peserta didik agar mengenal berbagai jenis tipe tes yang ditanyakan. Hampir semua satuan pendidikan melakukan kegiatan tersebut. Waktu tersebut dapat dilakukan misalnya pada bulan-bulan terakhir menjelang ujian.
PENUTUP
Guru yang profesional sangat dituntut untuk membangun proses pembelajaran yang menekankan pada keaktifan siswa serta keefektifan pembelajaran. Efektif artinya semua kompetensi yang telah ditetapkan pada kurikulum dapat dituntaskan oleh peserta didik dengan melalui proses pembelajaran yang bermakna. Guru harus memberikan fasilitas dan pengkondisian siswa yang sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Siswa harus diberdayakan secara manusiawi untuk mau dan mampu berbuat dalam rangka merubah pengalaman belajarnya dengan meningkatkan interaksi terhadap lingkungan. Untuk mendukung aktifitas belajar siswa, peran guru di depan kelas sangatlah penting.
Untuk meningkatkan motivasi siswa terhadap mata pelajaran matematika diperlukan strategi pembelajaran matematika yang menyenangkan, realistis dengan kehidupan sehari-hari, mengaktifkan siswa dan memberikan pengalaman-pengalaman belajar sehingga akan berdampak pada kreatifitas siswa dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Oleh sebab itu, pembelajaran PAIKEM perlu diwujudkan oleh guru agar siswa dapat mencapai standar kompetensi matematika yang diharapkan. Agar PAIKEM dapat terwujud, guru perlu dibekali dengan berbagai strategi dan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan perubahan jaman, serta pemahaman materi dan media yang mendukung.
Proses dan produk, keduanya tidak perlu dipertentangkan karena keduanya menjadi tujuan pendidikan yang diidamkan. Adalah sangat bijaksana apabila guru menekankan kedua hal tersebut, termasuk dalam penilaiannya menerapkan penilaian yang autentik dengan menyeimbangkan antara penilaian terhadap penerapan pengetahuan maupun cara pikir siswa dan
7
8
penilaian terhadap hafalan informasi aktual. Oleh karena itu adalah sangat tepat kebijakan yang ditempuh Kementerian Pendidikan Nasional berkenaan dengan kelulusan peserta didik mulai tahun pelajaran 2010/2011 ini. Lulus tidaknya seorang peserta didik tidak hanya dari hasil UN saja tetapi juga dipengaruhi oleh nilai proses yang dilakukan guru di kelas. Tentu, diperlukan kesungguhan dan keobyektifan semua pihak agar mutu pendidikan meningkat secara nyata, tidak semu.
Kepustakaan
Hudoyo, H. (1988). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya Di depan Kelas. Surabaya: Usaha Nasional.
Nasution, S. (1986). Didaktik Asas-Asas Mengajar. Bandung: Jemmars.
Nurhadi, Yasin,B, dan Senduk, A.G. (2003). Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.
Peraturan Pemerintah RI No.19 Tahun 2005. tentang Standar Nasional Pendidikan.Jakarta: Asa Mandiri.
Suryanto. (2001). Pendidikan Matematika Realistik. Makalah Lokakarya Widyaiswara BPG se- Indonesia tanggal 27 Maret – 9 April 2001 di PPPG Matematika Yogyakarta.
Yuwono. (2001). Realistic Mathematics Education dan Hasil Studi Awal Imlementasi di SLTP. Makalah UNESA Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar